BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Berdasarkan
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1999 angka kematian ibu (AKI)
besarnya 373 per 100.000 kelahiran hidup (KH), dan menurut Survei Kesehatan
Nasional (Surkesnas) tahun 2003 sebesar 461 per 100.000 KH. Dibandingkan dengan
negara-negara Asia lainnya AKI Indonesia masih sangat tinggi, AKI Malaysia 20
per 100.000 KH, Srilangka 42 per 100.000 KH pada tahun 1996. Di Papua, menurut
hasil Survei Cepat Papua tahun 2001, AKI di Propinsi Papua besarnya 750 sampai
1300 per 100.000 kelahiran hidup, khusus Kabupaten Mimika besarnya 1.100 per
100.000 KH.
Untuk
menekan tingginya AKI, pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya antara
lain mendidik tenaga bidan sebanyak 54.956 yaitu lulusan Sekolah Perawat
Kesehatan (SPK) ditambah satu tahun pendidikan bidan untuk ditempatkan di
setiap desa. Dengan demikian jumlah tenaga bidan di Indonesia mencapai 65.000
orang merupakan jumlah tenaga bidan yang paling banyak di dunia dalam satu
negara.
Kabupaten
Mimika adalah lokasi kontrak kerja perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar
yang mulai beroperasi di dataran tinggi puncak Eastberg dan Grassberg
pegunungan bersalju sejak tahun 1967. Kehadiran PT Freeport Indonesia (PT FI)
di Kabupaten Mimika mempunyai misi mensejahterakan penduduk asli dengan
berbagai program kesehatan masyarakat yang gratis, memberi lapangan kerja, dan
sebagainya. Pada mulanya program kesehatan masyarakat PT FI terfokus pada
penyakit malaria dengan Malaria Control, namun kemudian berubah menjadi Public Health
& Malaria Control. Dibangunnya rumah sakit dan klinik gratis untuk penduduk
asli kadangkadang membuat iri penduduk pendatang.
Upaya-upaya
pemerintah dan Public Health & Malaria Control Department PT FI belum
berhasil menekan AKI penduduk asli, ini terlihat dari hanya 26% ibu-ibu
melakukan persalinan dengan petugas kesehatan. Berbagai fenomena muncul dengan
adanya pertambangan PT FI tersebut yaitu pertama memandang para pendatang yang
membangun tersebut sebagai pembawa kemajuan, pembaharu serta produsen, kedua
pendatang tersebut sebagai penghancur, perusak dan perampas.
Sumber
lain mengatakan bahwa Suku Amungme mempercayai penggalian batu tambang
merupakan proses pembunuhan ibu kandung atau penghancuran tubuh mama, oleh
karena itu banyak ibu-ibu yang mengalami kesulitan dalam persalinan sehingga
bayi-bayi yang dilahirkan cacat dan mati. Mereka juga meyakini bahwa
pertambangan itu membuat generasi muda terancam menderita berbagai macam
penyakit pencernaan dan pernapasan.
Suku
Amungme adalah penduduk asli suku gunung atau pedalaman yang terbanyak di
Kabupaten Mimika, sedangkan Suku Kamoro adalah penduduk asli suku pantai yang
terbanyak di Kabupaten Mimika. Meskipun sudah pindah atau dipindahkan ke
pemukiman baru di Timika dan desa-desa baru sekitar Timika, kedua suku ini
masih sulit bersatu dalam satu area dikarenakan perbedaan sejarah dan prinsip.
Penelitian ini dilakukan terhadap kedua suku tersebut pada desa-desa yang
berbeda.
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimanakah aspek kebudayaan
persalinan di masyarakat Papua ?
Bagaimana dampaknya bagi profesi
bidan ?
1.3 Tujuan
Memaparkan aspek kebudayaan
persalinan di masyarakat Papua.
1.4
Manfaat
Diharapkan
mampu memberikan manfaat kepada pembaca, agar mengetahui tentang berbagai
kebudayaan pada waktu proses persalinan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Adat Budaya ibu Bersalin-Nifas di Papua
Sebanyak
97 (47,5%) ibu melakukan persalinannya di rumah. Ibu-ibu kedua suku Papua ini
melakukan persalinan di rumahnya dan ruangan yang dipakai adalah kamar mandi,
dapur, dan bivak. Ruangan tersebut tidak memenuhi syarat dan tidak terjamin
kebersihannya sehingga sangat memungkinkan terjadi komplikasi infeksi pada ibu
dan bayi. Ibu mulai berada di dalam ruangan yang sempit dan lembab pada awal
kala 2 sampai akhir kala 3 yaitu sekitar 40 menit sampai dengan dua jam.
Luka-luka perdarahan yang terjadi dalam proses persalinan, sangat rentan untuk
terjadinya infeksi pada ibu dan bayi. Rasa pasrah dan tidak waspada dikarenakan
rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, membuat mereka tetap memilih cara
seperti itu. Bahkan untuk persalinan yang tak terduga, sering terjadi di atas
pasir di pinggir pantai atau di atas rumput di pinggir hutan lokasi meramu
dengan beratapkan pohon, beralaskan rumput, dinding semak belukar.
Ibu-ibu
Suku Amungme yang melakukan persalinan di rumah dibantu oleh ibu kandung, ibu
mertua, tetangga, teman yang dianggap sudah berpengalaman, atau tanpa bantuan
siapapun. Hal ini disebabkan budaya atau kebiasaan keluarga yang memberikan
contoh sehingga tidak merasa takut lagi. Bahkan ada rasa malu bila tidak berani
mengikuti cara itu, dan dapat dianggap melanggar budaya.
Suku
Kamoro mempunyai dukun yang sudah dikenal baik, kekeluargaan, ramah, hangat,
tidak formal, dan tidak perlu memikirkan pembayaran hanya saling pengertian.
Pelayanan diberikan sampai kepada hal-hal yang bersifat pribadi dan spritual
termasuk perawatan bayi dan obat-obatan. Keengganan mereka ditolong oleh bidan
atau petugas kesehatan lain di rumah sakit, puskesmas, klinik, karena ada perasaan
malu, segan, tegang, kesan dingin/kaku, takut dimarahi karena tidak punya uang,
dan bidan tidak merawat bayi.
Pada
penanganan proses persalinan, setelah ari-ari keluar, tali pusat dipotong
dengan sebuah silet baru yang sudah disiapkan sebelumnya. Ada yang membiarkan
tali pusat begitu saja tanpa diikat, dan ada juga yang menutup ujung tali pusat
dengan 146 Alwi, Ghani, Delima Budaya persalinan Papua ubi yang baru dibakar,
abu panas, bedak talk, dan daun-daunan yang dipanaskan.
Untuk
persalinan tidak terduga, tali pusat dipotong dengan pisau yang mereka bawa
atau dengan tangkai daun sagu dan diikat dengan tali akar-akar kayu. Cara ini
tidak jauh berbeda dengan ibu-ibu Suku Bgu di Pantai Utara Papua yaitu memotong
tali pusat bayi dengan pisau yang dibuat dari gaba-gaba (tangkai daun sagu).
Bahaya yang terjadi akibat tidak mengikat tali pusat adalah darah banyak keluar
dari ujung tali pusat, meskipun lama-lama akan membeku dan berhenti sendiri
dengan risiko terjadi ikterus pada bayi. Cara mereka mengantisipasi keluarnya
darah dengan bahan-bahan yang panas/ bakar cukup efektif menghentikan
perdarahan tali pusat dan mencegah infeksi melalui tali pusat.
Menghisap
asap kayu bakar yang dilakukan ibu selama proses persalinan sangat berpotensi
menyebabkan sesak nafas dan infeksi saluran pernafasan pada ibu dan bayi. Namun
karena sudah menjadi keyakinan dapat memberi kekuatan bagi si ibu dan bayi maka
secara psikologis mungkin bermanfaat memberi semangat pada ibu untuk
mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya dalam proses pengeluaran bayi.
Kematian
ibu bersalin banyak terjadi pada kelompok miskin, tidak berpendidikan, di tempat
terpencil, tidak memiliki kendali untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri,
sehingga kematiannya terabaikan, dan tidak mendapat perhatian selayaknya dari
berbagai pihak. Di Papua penduduk mempercayai roh ibu yang meninggal dapat
menunggui pohon-pohon yang ada di sekitar rumah keluarganya, kalau roh itu
marah karena ada tradisi yang dilanggar maka sewaktu-waktu dapat mencelakai
orang lain atau keluarganya sendiri.
Perilaku
masyarakat yang sudah berakar dari tradisi atau budaya bukanlah hal yang mudah
dan akan memakan waktu yang lama untuk merubahnya. Kebudayaan merupakan suatu
keseluruhan yang meliputi pengetahuan, sikap, perilaku, kepercayaan, seni,
kesusilaan, hukum, adat-istiadat, tradisi, kemampuan dan kebiasaan lainnya yang
dipelajari, dimiliki, diwarisi oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Budaya
merupakan jati diri dari sebuah bangsa dan budaya juga merupakan alasan kuat
untuk beradaptasi dalam meraih kesuksesan. Namun jika budaya bersifat absolut
maka nilainya sebagai pembimbing akan merosot dan menghalangi kemajuan. Ahli
waris kebudayaan dituntut keberaniannya mengadakan perubahan bila sudah tidak
sesuai lagi.
2.2
Latar Belakang Tema Budaya
Dari
uraian tentang perilaku penanganan proses persalinan, diidentifikasi beberapa
tema budaya yang menjadi akar perilaku. (Gambar 1)
Tema
budaya pertama, penduduk menganggap bahwa persalinan adalah peristiwa alami,
urusan perempuan dan tidak perlu dibesar-besarkan. Lakilaki tidak perlu ikut
campur memikirkan atau membantu persalinan istrinya karena itu sudah kodrat
perempuan. Darah dan kotoran persalinan dapat menimbulkan penyakit yang
mengerikan bagi laki-laki dan anak-anak, karena itu harus dijauhkan atau
disembunyikan. Kepercayaan ini memojokkan posisi perempuan dan sangat merugikan
kesehatannya.
Tema
budaya kedua, penduduk menganggap tabu perempuan membuka aurat/paha di depan
orang yang belum dikenal baik itu laki-laki maupun perempuan. Kepercayaan ini
makin memperkuat ibu-ibu untuk tidak berani meminta melakukan persalinan di
rumah sakit, klinik, puskesmas meskipun jaraknya dekat dan tidak membayar. Ibu
khawatir disalahartikan mau melanggar tradisi, mau memanjakan diri makan tidur
sementara di rumah tidak ada yang mengurus makanan bagi keluarga.
Tema
budaya ketiga, penduduk meyakini bahwa asap kayu bakar membawa kekuatan bagi
orang yang sakit atau lemah termasuk ibu yang sedang melahirkan. Suami dapat
membantu dalam proses persalinan istrinya dengan menghidupkan dan menjaga kayu
bakar apinya selalu hidup tidak jauh dari tempat persalinan sehingga asapnya
bertiup mengarah ke tempat ibu dan bayi. Keyakinan ini secara fisik merugikan
kesehatan ibu dan bayi terjadi sesak nafas dan infeksi saluran pernafasan.
Tema
budaya keempat, ibu-ibu Suku Kamoro mengangap dukun sebagai pewaris oto
(pengobat) ditentukan oleh roh leluhur. Dukun dianggap tokoh masyarakat dan
tidak pernah dituntut atas perbuatannya walaupun ibu dan bayi meninggal
ditangannya. Bahkan ibu meninggal yang dianggap salah karena perilaku yang
melanggar tradisi semasa hamil. Kepercayaan mutlak terhadap dukun dapat
menimbulkan kerugian bagi kesehatan ibu, tetapi dukun juga dapat dijadikan
potensi bila dukun tersebut ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam
memelihara kesehatan ibu.
Tema
budaya kelima, adanya larangan bagi ibu untuk mandi sebelum diadakan pesta
kerabat yang biasanya 1-2 minggu setelah persalinan. Dalam kesempatan itu ibu
boleh mandi sendiri atau dimandikan ibu-ibu lain sambil bernyanyi beramai-ramai.
Setelah itu diberikan kebebasan bagi ibu untuk melakukan hubungan seks dengan
suami. Selama belum dipestakan, suami dilarang makan minum dan tidur di rumah,
harus di rumah keluarga yang lain atau rumah tetangga. Akibat negatif bagi
kesehatan ibu dari larangan mandi ini yaitu timbul berbagai penyakit infeksi
yang dapat menular kepada bayinya. Untuk hubungan seksual 1-2 minggu setelah
persalinan dapat menyebabkan kerusakan dan infeksi alat kelamin ibu karena
pemulihan tubuhnya belum sempurna.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ø Persalinan
di rumah ditolong oleh dukun, anggota keluarga, tetangga, atau tanpa
pertolongan siapapun. Persalinan dilakukan di kamar mandi, dapur, bawah rumah,
atau di tempat-tempat ibu meramu. Cara penanganan persalinan juga masih tidak
sesuai dengan cara pelayanan kesehatan modern misalnya posisi jongkok di
toilet, pemotongan dan pengikatan tali pusat, mengisap asap kayu bakar,
larangan mandi dan boleh berhubungan seks dalam masa nifas.
Ø Perilaku
ibu-ibu dalam penanganan persalinan ini dilandasi oleh beberapa tema budaya
antara lain; menganggap persalinan adalah peristiwa menjijikkan dan dapat
menyebarkan penyakit berbahaya karena itu harus disingkirkan. Beberapa tema
budaya tersebut sangat diskriminatif, dan beberapa larangan menjauhkan ibu
untuk memperoleh hak-hak pelayanan kesehatan reproduksi. Ibu-ibu meninggal
dalam persalinan dianggap mendapat kutukan dari mbii (roh, tuan tanah).
Ø Dari
pembahasan diatas disimpulkan bahwa adat yang dilakukan tersebut tidaklah
banyak menguntungkan baik untuk kesehatan ibu maupun kesehatan bayinya. Itulah
mengapa AKI & AKB saat ini masih tinggi.
3.2
Saran
Ø Perlu
metode khusus yang dirancang untuk merubah secara perlahan tradisi penduduk
Papua. Metode ini perlu diujicobakan dulu pada penduduk dalam suatu desain
penelitian action research. Program yang langsung diterapkan tanpa mendalami
perilaku dan budaya setempat, sulit membuahkan hasil.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar